Masih banyak yang perlu dilakukan di Indonesia. Suatu survai tahun 1999 oleh PricewaterhouseCoopers terhadap investor-investor internasional di Asia, menunjukkan bahwa Indonesia dinilai sebagai salah satu yang terburuk dalam bidang standar-standar akuntansi dan
penaatan, pertanggungjawaban terhadap para pemegang
saham, standar-standar pengungkapan dan transparansi serta proses-proses kepengurusan
perusahaan. Suatu kajian lain menunjukkan bahwa tingkat perlindungan investor di Indonesia merupakan yang terendah di Asia
Tenggara. Tabel berikut ini menggambarkan bagaimana penerapan standar corporate governance di beberapa negara termasuk di dalamnya adalah Indonesia.
Tabel 2.
Hasil penelitian terhadap penerapan standar Corporate Governance di beberapa negara
Di Indonesia, kepemilikan perusahaan yang terdaftar di bursa saham sangat
terpusat, dan persentase manajer yang termasuk dalam grup pengendali juga sangat
tinggi. Hal ini pada hakikatnya merupakan ciri khas bagi suatu sektor usaha yang sedang berkembang serta pasar modal yang dalam
pertumbuhan. Akan tetapi, sementara ekonomi dan perusahaan-perusahaan di Indonesia tak pelak lagi semakin membaur dengan ekonomi dunia untuk pembiayaan pinjaman dan permodalan mereka serta pembelian dan penjualan
produk-produknya, perhatian terhadap standar-standar corporate governance yang disepakati di tingkat internasional merupakan keharusan bagi Indonesia.
Partisipasi dan Perlindungan Para Pemegang Saham
Komisaris pada umumnya tidak efektif dalam menjaga kepentingan-kepentingan para pemegang
saham, oleh karena pemegang saham berdasarkan hubungan keluarga mempunyai posisi yang
dominan. Mekanisme pengendalian ('checks and balances'), seperti mewakili kepentingan pihak ketiga melalui Komisaris Independen dan Komite Independen untuk Penggajian (Remuneration Committee) dan Nominasi (Nomination Committee) serta Komite Audit belum
ada. Transparansi masih sangat kurang karena praktek-praktek
pengungkapan, standar-standar akuntansi serta pelaksanaannya masih belum
memadai.
Pemantauan dan Perlindungan Kreditur
Pertama, posisi dan peranan kreditur di dalam corporate governance masih lemah dikarenakan pengelolaan
perusahaan, baik oleh para kreditur maupun pengelolaan bank-bank itu
sendiri, masih sangat kurang baik. Pengendalian intern yang lemah dan kerangka-kerangka pengaturan yang kurang memadai bagi bank dan lembaga-lembaga keuangan non-bank lainnya ditambah lagi sistem manajemen risiko intern bank yang tampaknya belum dikembangkan menjelaskan hal
tersebut. Kedua, pengamatan pasar masih kurang oleh karena pihak kreditur dan pesaing sering merupakan bagian dari konglomerat-konglomerat yang dimiliki oleh keluarga yang sama yang juga ikut memiliki perusahaan-perusahaan pemberi pinjaman
dana. Ketiga, perlindungan hukum bagi kreditur masih lemah akibat sistem peradilan yang tidak efisien di Indonesia. Lagi
pula, undang-undang kepailitan dan prosedur-prosedurnya pada umumnya tidak aktif di Indonesia, baik dalam melindungi pihak kreditur maupun dalam menjatuhkan sanksi terhadap pihak
peminjam.
Pasar untuk Pengendalian Perusahaan serta Perlindungan terhadap Produk-produk Pasar
Pasar untuk mengendalikan perusahaan kebanyakan tidak
aktif. Kesulitan-kesulitan yang dialami sebagai akibat semakin maraknya hostile takeover mencerminkan pemusatan kepemilikan di dalam perusahaan-perusahaan
tersebut. Tingginya pemusatan kepemilikan perusahaan ini lebih lanjut akan menghambat mekanisme pasar yang mengendalikan perusahaan dan pasaran
barang-barang.
Pasar Modal serta Keuangan Perusahaan
Akibat tahap pembangunan dini dari pasar modal di Indonesia, pasar modal didominasi oleh keuangan
ekstern, terutama pinjaman-pinjaman bank. Peraturan pembatasan serta prosedur hukum yang tidak efektif telah membatasi peranan obligasi perusahaan serta pembiayaan
perusahaan. Perusahaan-perusahaan telah melakukan pinjaman luar negeri yang sangat luas oleh karena suku bunga luar negeri diliberalisasikan sedangkan suku-bunga dalam negeri
diatur.
|